RUWATAN
Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana
pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan
bisa berdampak kesialan didalam hidupnya
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga
kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian
manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya.
Dalam cerita "wayang" dengan lakon Murwakala
pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang
didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian,
yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali,
atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu
kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media
wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya
mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk
mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya,
orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara
Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang
lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma,
yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi
raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang
gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk
meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang
berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi
,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.
Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia)
,dan
|
pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas
ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan
serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya
diperlukan perlengkapan sbb :
- Alat musik jawa (Gamelan)
- Wayang kulit satu kotak (komplit)
- Kelir atau layar kain
- Blencong atau lampu dari minyak
Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang
berupa:
- Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
- Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
- Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
- Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
- Bermacam-macam nasi antara lain :
a. Nasi golong dengan
perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb.
b. Nasi wuduk dilengkapi
dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang,
kedele hitam.
c. Nasi kuning dengan
perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
- Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
- Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
- Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong.
- Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
- Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
- Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan.
- Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading
yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk
(tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak,
kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan
kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.
|
TRADISI MALAM SATU SURO
Kedatangan tahun baru biasanya
ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian
tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.
Lain halnya dengan pergantian
tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut
dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi
diri.
Saat malam 1 Suro tiba,
masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur
semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Bahkan sebagian orang memilih
menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut,
pohon besar, atau di makam keramat.
Ritual 1 Suro telah dikenal
masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih
mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.
Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender
Hijriah.
Sebagai upaya memperluas ajaran
Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan
Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro
sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci,
bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk
mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan
hawa nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada
pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton
Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat
kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.
Kebo Bule merupakan hewan
kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan
berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa
pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar,
Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda
pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta
dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng
beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa.
Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro
juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang
masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa
dengan tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat
Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya
manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan
Tuhan.
Sedangkan waspada berarti
manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika
kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan
Suro.
Pesta pernikahan yang biasanya
berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang
harus dijalani selama bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar
dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama
bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas
diri.
Dan bukankah introspeksi tak
cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang
digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini.
Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
TINGKEBAN
Upacara Tingkeban adalah
salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu
yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan
dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan
saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu.
Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman dan
disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu
diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara
dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan
Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit.
Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah
disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang
dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh
yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar
dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang
Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk
lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.
Landasan Historis
Tradisi tujuh bulanan atau
tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap
bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika
pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken
Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya
segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja,
keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu
dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok),
sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma,
hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun.
Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian yang
bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi
Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu
di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu
tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan,
lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Ketiga hal di atas,
tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan
tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil
dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai
anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus
suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas.
Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama
dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam
bentuk selamatan. Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti
agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir
berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan
sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa
dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan
harus disertai laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti
‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak
lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling
mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat. Beberapa pantangan yang patut
dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti Jawa
luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang (misalnya
buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika posisi
melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya
dengan kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga
bila terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil,
misalkan tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi,
sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak
dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan
tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan, sebenarnya
terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain. Penganiayaan
juga merupakan tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora
ilok’ kalau meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak
cacat. Watak dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar
suami lebih berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil
diharapkan tidak mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya
tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar
pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat. Proses
selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan.
Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya
menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang
dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti harus
menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan
(pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan
dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah
permulaan hidup (sangkan paraning dumadi).
Proses Tradisi Tingkeban
Secara lengkap, dalam setiap
ritual tradisi adat ada proses ngujutne terlebih dahulu. Adapun konsep
ngujutne, itu adalah sebagai berikut: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mugi kalian
matur dumateng poro Bapak lan sederek kulo, ingkang sami pelenggahan wonten
panggenan nipun. Boten namung kula disambut wiraos kula seklima dumateng kapure
bageaken rawuhipun bapak lan ngaturaken sembah pangabekti dumateng pernah sepah
la ngaturaken dumateng pernah nem sumrambah skadangepun. Boten among
panjenengan sedaya kersa ngilangken langkah bucal tempo sauntawes memenuhi
undanganipun. Kapure anakseni niatipun badhe ningkepi ingkang putro lan putri
meniko dinten ingkang kepengker nampi rezeki sangking pangeran rupinikun nur
Muhammad juluk ipun kunan jabang bayi ingkang dipunkandung mulai sewulan
sehinggo pitung wulan. Derek adat meniko lan dipun tingkepi lan di pitung
wulani. Senjeng titiwancine kunang jabang bayi lahir ampun enten alangan sak
tunggal penopo. Ngajeng dumogineng wingking boten namung ngedalaken rezekineng
pangeran menika terbagi sepindah ngedalaken bubur petak miwah abret. Bubur
petak mukani sumerep roh sangking bapa, bubur abret mukani sumerep roh sangking
biung, julukipun wamuko rahmuko kakang kawah adi ari-ari, kakang barep adineng
ragil. Tebih tampowangenan, celak tampo senggolan. Milo dingabeteni ampunenten
alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumugineng wingking sekul suci ulam sari
kangge mukani sumerep kanjeng nabi Muhammad sak kerabat, Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali nilo dihormati sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten
alangan sak tunggal penopo. Nontennaken pisang ayu sekar arum nyukani sumerep
mbok dewi pertimah ingkang jumeneng wonten Mekah Medinah. Milo dimangebateni
sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo.
Nontennaken jajan pasar mukani sumerep malaikat ingkang bagi rezeki milo
dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo. Nontennaken panggang mukanen sumerep kanjeng sunan kalijogo
ingkang jagi sak lebet ipun wangon sak jawanipun kurung lan sak jawinipun
karang sagetombangsulono selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo.
Nontennaken ambengan kangge mukani sumerep kaki datok nini datok kaki danyang
nini danyang seng barekso. Milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng
selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken sekul gulung nukani
sumerep dinten pitu pekenan gangsal, sasi rolas windu wolu, wuku tigang doso,
tahun sekawan papat jatingarang sak peninggalane, milo dingabeteni
sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo.
Nontennaken among mukani sumerep kaki among nini among ingkange mong kunang
jabang bayine ingkang dipun kandung binjing titiwancineng kunang jabang bayi
lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Poro
lencang lan poro sederek nyambut sederek nyambul damel wonten pawon mendek tuyo
secawu’an ron setuek kajeng seceklek ingkang dipun damel di tedeni sawa
pandungone ingkang dipun ducal ampun dadake kulo dadeake coyo nur coyo neng
cekap semonten atur kawulo menawi lepat nuwun pangapunten menawi enten
kekirangane anggen kulo ngekralaken nuwun mapan panggenan kiambak-kiambak lan
nuwun pangapunten du mateng bapak sederek kulo ingkang pelenggahan boten among
kulo sampuni. Wassalamu’alaikum Wr. Wb." Adapun kandungan dari “ngujutne”
ini adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang
paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni)
sebagaimana terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang
bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo”
(Bayinya lahir dengan selamat, tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar
dan sehat wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni)
dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh
dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil
menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang
diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti
kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram
sebanyak tujuh[11] (pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan
gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya
terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa
pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat
dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan. Kedua, setelah siraman selesai,
dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh
sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini
sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan,
seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi
dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari
sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu
lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur,
diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai
lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan. Ketiga, wanita
hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain
bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna
kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini
sekaligus terkandung harapan agar kelak anak yang dilahirkan dapat mendapat
kemuliaan dan kesenangan hidupnya. Keempat, kain sidamukti yang dikenakan pada
wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan
benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur
kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak
merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang
putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta
(puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah
dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur
kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri
tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan
amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau
kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan
janur berarti upaya mengatasi kesulitan. Kelima, seorang suami memegang kelapa
gading muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke
arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima oleh
calon nenek (ibu dari wanita hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong
kelapa gading muda. Setelah selesai, calon nenek dari pihak besan segera
meneroboskan lagi seekor belut yang masih hidup, dan belut tersebut harus
ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke dalam sekar setaman. Setelah
menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah) tanpa pamit. Tradisi semacam
itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang
Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang
lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti
Kamajaya. Belut yang dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami
sampai tertangkap, merupakan lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih
cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian merupakan pola pemikiran
asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin dibandingkan dengan
kelahiran bayi. Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar rumah), ibu
hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus
melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu
menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut
dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah
di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir
banyak mendapatkan rezeki. Ketujuh, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini,
ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu: Tumpeng kuat,
yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar
dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh
menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai
lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan
lahir dan batin Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi
jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna
agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup
sederhana. Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun,
belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan. Sega megana,
yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan sayuran.
Ini merupakan simbol bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk
(gumana) sebagai manusia yang siap lahir. Bayi tersebut secara fisik dan
nonfisik diharapkan telah lengkap. Ketan procot, yaitu ketan yang diaduk dengan
santan dan setelah dimasukkan dalam daun pisang memang dihidangkan. Yang perlu
diketahui, daun pisang tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak boleh
ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambang agar kelak bayi lahir dengan
mudah. Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan
ayat-ayat suci Alqur’an dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang
tokoh agama (ustadz).
According to Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason this country's women get to live 10 years more and weigh 19 KG less than us.
BalasHapus(By the way, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret exercise and absolutely EVERYTHING related to "how" they eat.)
P.S, I said "HOW", not "what"...
TAP this link to see if this quick questionnaire can help you find out your true weight loss potential